Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan
Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan
Besarnya
kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis
kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut
kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak
didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskian
relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi
pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan
tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di Negara-negara maju,
kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingakt
pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relative,
kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau periode di suatu
Negara. Kemiskinan absolute adalah derajat dari kemiskinan di bawah,
dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.
Masalah
kemiskinan yang dihadapi di setiap negara akan selaludi barengi dengan
masalah laju pertumbuhan penduduk yang kemudian menghasilkan
pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan nasional maupun
pembangunan, dan pendidikan yang menjadi modal utama untuk dapat
bersaing di dunia kerja dewasa ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata. Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur].
Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata. Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur].
Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Kondisi Umum Masyarakat
Krisis
ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang
membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini
dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta
huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat
misalnya mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di
antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi
tingkat pengangguran yang meningkat “signifikan.” Jumlah pengangguran
terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi
kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir,
masyarakat yang makan “Nasi Aking.”
Di
Nusa Tenggara Timur (NTT) 2000 kasus balita kekurangan gizi dan 206
anak di bawah lima tahun gizi buruk. Sedangkan di Bogor selama 2005
tercatat sebanyak 240 balita menderita gizi buruk dan 35 balita yang
statusnya marasmus dan satu di antaranya positif busung lapar. Sementara
di Jakarta Timur sebanyak 10.987 balita menderita kekurangan gizi. Dan,
di Jakarta Utara menurut data Pembinaan Peran Serta Masyarakat
Kesehatan Masyarakat [PPSM Kesmas] Jakut pada Desember 2005 kasus gizi
buruk pada bayi sebanyak 1.079 kasus.
BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
- INDIKATOR KESENJANGAN
Ada
sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi
pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic
dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah
dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the
generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang
paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini
berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna
(setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 :
ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
Ide
dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz.
Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh
kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat
ketidakmerataan distribusi pendapatan.
- INDIKATOR KEMISKINAN
Batas
garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda.
Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan
hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari
besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan
minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan
pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk
perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan
kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index.
Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan.
Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan
ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin
adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis
kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan
dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2
komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis
kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk
mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster
dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama,
the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam
keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis
kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of
proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang
diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan
proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata
pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi
dari garis tersebut
PENEMUAN EMPIRIS KASUS INDONESIA
1. Distribusi Pendapatan
Distribusi
pendapatan. Badan Pusat Statistik menggunakan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS): data pengeluaran konsumsi sebagai proxy
distribusi pendapatan.
- Pertengahan 1997 pendapatan per kapita lebih dari 1000 dollar AS.
- Tahun 1965-1970: pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 2,7% dan koefisien Gini sebesar 0,35.
- Tahun 1971-1980: pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 5,4% dan koefisien Gini sebesar 0,3 ketidak merataan menurun.
- Tahun 1998″ koefisien Gini sebesar 0,32.
- Tahun 1999: koefisien Gini sebesar 0,33.
Bedasarkan
kondisi geografis, terdapat perbaikan distribusi pendapatan pedesaan
(0,26-0,31) dibandingkan di perkotaan (0,33). Perubahan pola distribusi
pendapatan di pedesaan Indonesia disebabkan oleh:
- Arus tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan
- Struktur pasar di pedesaan lebih sederhana dibandingkan di perkotaan, distorsii pasar di pedesaan lebih kecil dibanding di perkotaan.
Dampak positif proses pembangunan nasional
- Semakin banyak kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian di pedesaan
- Prokdutivitas dan pendapatan riil tenaga kerja di sektor pertanian meningkat
- Potensi sumber daya alam di pedesaan semakin baik di manfaatkan penduduk desa
Data
pengeluarankonsumsi dipakai sebagaipendekatan (proksi) untuk mengukur
distribusi pendapatan masyarakat, walau diakui cara demikian memiliki
kelemahan serius. Penggunaan data pengeluaran konsumsi bisa memberi
informasi mengenai pendapatan yang under estimate. Alasannya
sederhana, jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama
dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bias lebih besar atau lebih
kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti
pengeluaran konsumsinya juga besar. Dalam hal ini berarti ada
tabungan. Sedangkan bila jumlah pendapatannya rendah, tidak selalu
berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai
kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya
membeli rumah, mobil dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk
liburan.
Pengertian pendapatan (income) yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan (wealth). Kekayaan
seseorang bias jauh lebih besar daripada pendapatannya. Seseorang bias
saja tidak punya pendapatan/pekerjaan (penghasilan), tetapi ia sangat
kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha muda di Indonesia
kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan,
tetapi mereka sangat kayak arena perusahaan dimana mereka bekerja adalah
milik mereka (atau milik orangtua mereka).
Menjelang
pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi, tingkat
pendapatan per kepala di Indonesia sudah melebihi 1000 dolar AS, jauh
lebih tinggi dibanding 30 tahun lalu. Namun, apa artinya jika hanya
10% saja dari seluruh jumlah penduduk tanah air yang menikmati 90% dari
jumlah pendapatan nasional atau PDB. Sedangkan sisanya (90%) hanya
menikmati 10% dari pendapatan nasional.
Jika
kondisi di atas dibandingkan dengan Negara-negara maju yang distribusi
pendapatannya lebih baik, misalnya Swiss, dengan menggunakan kurva
Lorenz, maka kurva tersebut untuk Indonesia bentuknya lebih melebar
sedangkan kurva Lorenz untuk Swiss lebih mendekati garis equality. Dengan kata lain, daerah konsentrasi pendapatan di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Swiss.
2. Kemiskinan
Di
Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. Terutama
meliahat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin di tanah
air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat
dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak
Pelita I hingga 1997 (sebelum krisis eknomi). Berdasarkan fakta ini
selalu muncul pertanyaan, apakah memang laju pertymbuhan yang tingii
dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau apakahmemang terdapat suatu
korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pertumbuhan dan
presentase jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan?.
Kalau
dilihat data dari Asia dalam sstudinya Dealolikar dkk. (2002),
kelihatannya memang ada perbedaan dalam presentase perubahan kemiskinan
antara kelompok negara dengan leju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
kelompoknegara dengan pertumbuhan yang rendah. Seperti China selama
tahun 1994-1996 pertumbuhan PDB riil rata-rata per tahun 10,5%, tingkat
penurunan kemiskinan per kapita selama periode tersebut sekitar 15,5%,
yakni dari 8,4% ke 6,0% dari jumlah populasinya. Sedangkan, misalnya
Bangladesh dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun hanya 3,1%
selama 1992-1996, tingkat penurunan kemiskinannya per kapita hanya 2,5%.
Ada sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan bertambah walaupun ekonominya tumbuh
positif.
Seperti
telah dibahas sebelumnya, banyak studi empiris yang memang membuktikan
adanya suatu relasi trade off yang kuat antara laju pertumbuhan
pendapatan dan tingkat kemiskinan, namun hubungan negatif tersebut
tidak sistematis. Namun, dari beberapa studi empiris yang pernah
dilakukan, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas kemiskinan
yang dipakai beragam pula, sehingga hasil atau gambaran mengenai
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan juga
berbeda.
Dampak Kemiskinan
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks.
* pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks.
* pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
* kekerasan.
Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan
efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah
melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi
seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan
pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau
menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum
dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh
biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang
dari memalak.
* pendidikan.
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi
dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak
dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak
dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka
begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.
Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
* kesehatan.
Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir
setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan
tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya
tak terjangkau oleh kalangan miskin.
* konflik sosial bernuansa SARA.
Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan
kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain
dari kemiskinan yang kita alami. M Yudhi Haryono menyebut akibat
ketiadaan jaminan keadilan “keamanan” dan perlindungan hukum dari
negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam
bentrokan identitas yang subjektif.
Terlebih
lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini yang berdampak
langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah
deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di
setiap daerah di Indonesia. Baik di perdesaan maupun perkotaan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara.
Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang- barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara.
Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang- barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Kemiskinan
dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan relatif, kemiskinan
kultural dan kemiskinan absolut. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih
berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN
Tidak
sulit mencari factor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari
factor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana penyebab sebenarnya
(utama) serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap
perubahan kemiskinan.
Kalau
diuraikan satu persatu, jumlah factor-faktor yang dapat mempengaruhi,
langsung maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai
dari tingkat dan laju pertumbuhan output (atau produktifitas tenaga
kerja), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja
(termasuk jenis pekerjaan yang tersedia), tingkat inflasi, pajak dan
subsidi, investasi, alokasi serta kualitas SDA, ketersediaan fasilitas
umum (seperti pendidikan dasar, kesehatan, informasi, transportasi,
listrik, air dan lokasi pemukiman), penggunaan teknologi, tingkat dan
jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam di suatu wilayah, etos kerja
dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga politik,
bencana alam dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar dari
factor-faktor tersebut juga mempengaruhi satu sama lain. Misalnya,
tingkat pajak yang tinggi membuat tingkat upah neto rendah dan ini bisa
mengurangi motivasi kerjsa seseorang sehingga produktivitasnya menurun
selanjutnya mengakibatkan tingkat upah netinya berkurang lagi, dan
seterusnya. Jadi tidak mudah memastikan apakah karena pajak naik atau
produktivitasnya yang turun membuat pekerja jadi miskin karena upah
netonya rendah.
Pada umumnya di negara Indonesia penyebab-penyebab kemiskinan adalah sebagai berikut:
•
Laju Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia terus
meningkat di setiap 10 tahun menurut hasil sensus penduduk. Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta
lebih penduduk. Kemudian di sensus penduduk tahun 2000 penduduk
meningkat sebesar 27 juta penduduk atau menjadi 206 juta jiwa. dapat
diringkaskan pertambahan penduduk Indonesia persatuan waktu adalah
sebesar setiap tahun bertambah 2,04 juta orang pertahun atau, 170 ribu
orang perbulan atau 5.577 orang perhari atau 232 orang perjam atau 4
orang permenit. Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia menjadi
negara ke-4 terbanyak penduduknya setelah China, India dan Amerika.
Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesiasemakin terpuruk dengan
keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak
sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim
ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung
membuat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
•
Angkatan Kerja. Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran. Secara garis
besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan
bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk
yang berumur didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda
disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut
oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi
setiap orang atausemua penduduk berumur 10 tahun tergolong sebagai
tenaga kerja. Sisanya merupakan bukan tenaga
kerja yang selanjutnya dapat dimasukan dalam katergori bebabn ketergantungan.
kerja yang selanjutnya dapat dimasukan dalam katergori bebabn ketergantungan.
•
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan.Distribusi pendapatan
nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan
suatu negara di kalangan penduduknya. Kriteria ketidakmerataan versi
Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh
tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah
(penduduk miskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20%
penduduk berpemdapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan
ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah apabila 40% penduduk
berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12 persen pendapatan
nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk
berpendapatan rendah menikmati 12 hingga 17 persen pendapatan nasional.
Sedangkan jika 40% penduduk miskin menikmati lebih dari 17 persen
pendapatan nasional makan ketimpangan atau
kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dikatakan cukup
merata.
kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dikatakan cukup
merata.
KEBIJAKAN ANTI-KEMISKINAN: STRATEGI DAN INTERVENSI
Ada 3 (tiga) pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni:
1. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pro kemiskinan
2. Pemerintahan yang baik (good governance)
3. Pembangunan social
Untuk
mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi pemerintah sesuai
sasaran atau tujuannya. Sasaran atau tujuan tersebut dibagi menurut
waktu, yakni jangka pendek, menengah dan panjang.
Intervensi
lainnya adalah manajemen lingkungan dan SDA. Hancurnya lingkungan dan
“habisnya” SDA dengan sendirinya menjadi factor pengerem proses
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber
peningkatan kemiskinan.
Intervensi
jangka pendek terutama pembangunan sector pertanian dan ekonomi
pedesaan, pembangunan transportasi, komunikasi, energy dan keuangan,
peningkatan peran serta masyarakat sepenuhnya (stakeholder
participation) dalam proses pembangunan dan proteksi social (termasuk
pembangunan system jaminan social).
Untuk
mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan diperlukan
intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan
perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :
- Intervensi jangka pendek, berupa :
- Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
- Manajemen lingkungan dan SDA
- Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
- Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
- Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
- Intervensi jangka menengah dan panjang, berupa :
- Pembangunan/penguatan sektor usaha
- Kerjsama regional
- Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
- Desentralisasi
- Pendidikan dan kesehatan
- Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
- Pembagian tanah pertanian yang merata
Referensi :
Tambunan, Tulus (2003), “Perekonomian Indonesia”, Ghalia Indonesia, Jakarta
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru bukan hanyak menciptakan kemiskinan dan kesenjangan pada masa itu, melainkan dampak kebijakan tersebut telah menciptakan kemiskinan dalam berbagai bentuk baik budaya kemiskinan maupun kemiskinan struktural hingga pasca runtuhnya orde baru (masa reformasi). Kebijakan pemerintah pada era tersebut pun telah menciptakan kesenjangan sosial, baik kesenjangan antardaerah, antargolongan maupun antarmasyarakat yang hingga kini belum dapat diperbaiki oleh pemerintahan era reformasi.
sumber :
dari internet.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru bukan hanyak menciptakan kemiskinan dan kesenjangan pada masa itu, melainkan dampak kebijakan tersebut telah menciptakan kemiskinan dalam berbagai bentuk baik budaya kemiskinan maupun kemiskinan struktural hingga pasca runtuhnya orde baru (masa reformasi). Kebijakan pemerintah pada era tersebut pun telah menciptakan kesenjangan sosial, baik kesenjangan antardaerah, antargolongan maupun antarmasyarakat yang hingga kini belum dapat diperbaiki oleh pemerintahan era reformasi.
sumber :
dari internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar